"Itu seperti pola di beberapa negara. Jonggol jadi ibukota pemerintahan Republik Indonesia (RI), sedangkan pusat bisnis di Jakarta. Mengapa harus Jonggol, karena dapat menghemat `cost` dan relatif dekat dengan Jakarta," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan hal itu terkait keadaan yang terjadi pada 1 Februari 2007 yang kembali terulang sejak 1 Februari 2008, yakni banjir serta genangan air di lebih dari 30 titik strategis di Ibukota. Akibatnya, bukan saja melumpuhkan transportasi darat, tetapi mengacaukan jadwal hampir seratus penerbangan tertunda dan mengganggu kegiatan pelabuhan laut.

Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga terkena dampak banjir sehingga iring-iringan mobil kepresidenan tidak bisa tembus di Jalan Thamrin pada Jumat (1/2), tepatnya di depan pusat pertokoan Sarinah. Presiden akhirnya harus pindah mobil.

Praktis sejak pada Jumat (1/2) itu, transportasi darat, udara dan laut dari dan ke Jakarta benar terganggu.

Menghadapi realitas yang amat memprihatinkan ini, Sutan Bathoegana kembali menyuarakan tekadnya untuk mendorong pemindahan ibukota pemerintahan ke Jonggol. Ibukota negara jangan lagi di Jakarta karena berbagai risiko seperti sekarang.

"Pembangunan Jonggol (sebagai alternatif) seperti saya katakan tadi pasti akan menghemat `cost` dan posisinya relatif dekat dengan Jakarta," katanya.

Ia lalu menunjuk sejumlah hasil riset dari beberapa kalangan yang menunjukkan kerugian besar melanda republik ini akibat berbagai masalah di ibukota Jakarta, mulai dari bencana banjir, kemacetan arus lalu lintas dan sebagainya.

"Seperti kita ketahui bersama, hasil penelitian beberapa LSM membuktikan kerugian akibat kemacetan seperti sekarang bisa mencapai sekitar Rp43 Triliun per tahun," kata Sutan Bathoegana.

Karena itu, "Mengapa kita tidak memanfaatkan dana (sebesar itu) untuk membangun Jonggol menjadi pusat pemerintahan?"

"Jonggol merupakan lokasi yang bisa dikembangkan menjadi pusat pemerintahan yang bisa seperti `one stop shopping`. Mengurus surat di pemerintahan jadi lebih mudah, seperti di Putra Jaya, Malaysia," kata Sutan Bathoegana.

Ia juga mengharapkan, untuk mengatasi keadaan seperti sekarang, kantong-kantong penyangga air akan dibuat guna membatasi air yang mengalir dari Bogor ke Jakarta.

"Mudah-mudahan, Jakarta nanti akan lebih rapi, bersih dan tidak macet. Mohon dukungan untuk mempercepat hal ini dengan cara mensosialisakannya terus-menerus," kata Sutan Bathoegana.


Selera Penguasa Modal

Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR, Suharso Monoarfa, mengeritik pola manajemen perkotaan ibukota Jakarta yang sejak Jumat (1/2) kembali menghadapi situasi `crowded` berupa kemacetan total transportasi (darat, laut maupun udara), akibat tata kelola terlanjur hanya mengikuti selera penguasa modal, bukan untuk kepentingan publik.

Apa yang terjadi ini, menurut dia, membuktikan seluruh tata kelola dan perencanaan kota mengikuti selera penguasa modal, bukan untuk kepentingan publik.

"Boleh dibilang, Jakarta adalah ibukota sebuah negara yang mencerminkan betapa di semua lini tata kelola pelayanan publik amat buruk," kata Suharso.

Pendapat senada juga diutarakan oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Tjahjo Kumolo, yang menambahkan kalau Jakarta masih tetap sebagai ibukota negara RI, harusnya perencanaan dan pembangunannya diambil alih oleh pemerintah pusat, kendati pengelolaannya tetap di tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Kalau tidak, kata Tjahjo Kumolo, harus cepat dicari alternatif ibukota pemerintahan yang baru.


Alternatif Ibukota Pemerintahan

Beberapa tokoh politik dan pengamat kembali mengangkat lagi wacana mencari alternatif ibukota pemerintahan yang lebih representatif serta menunjukkan harkat martabat bangsa.

Selain diutarakan oleh Sutan Bathoegana, Suharso Monoarfa, Tjahjo Kumolo, pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Dr Cornelis Lay serta peneliti dan pengamat politik LIPI, Dr Hermawan Sulistio juga menyampaikan pendapat perlunya memindahkan Ibukota negara.

Suharso Monoarfa menyatakan, tidak bisa lagi berwacana tentang upaya mencari alternatif ibukota negara atau pusat pemerintahan, tetapi mesti ada tindakan nyata.

"Soalnya, manajemen perkotaan kita buruk. Dari skala kota kabupaten sampai metropolitan, kaidah-kaidah planologi dilangggar. Lihat saja, hampir semua kota kita berkembang tanpa `detail plan` atau `detail plan` yang tidak dipatuhi," katanya.

Menurut Suharso Monoarfa, `detail plan` seringkali tidak mengikuti `master plan` kota.

"Kendati `master plan` dan `detail plan` kota itu sudah di-`Perda`-kan dan menjadi milik publik, toh tetap elitis sehingga hanya menjadi milik para spekulan tanah," katanya.

Akibatnya, seluruh tata kelola dan perencanaan kota mengikuti selera penguasa modal, bukan untuk kepentingan publik.

"Jakarta adalah ibukota sebuah negara yang mencerminkan betapa di semua lini tata kelola pelayanan publik amat buruk. Inilah problem serius yang segera harus ditindaklanjuti secara nyata, bukan berwacana lagi," kata Suharso. (*)